Demam nuklir
saat ini tengah melanda Asia. Kawasan dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi
dunia itu memilih membangun reaktor untuk kebutuhan energi. Indonesia juga
semakin dekat dengan nuklir. Tapi apakah Indonesia siap dengan resiko nuklir?
Badan Energi
Atom Internasional (IAEA) menyebut, ada 41 reaktor yang sedang dibangun di
Asia, 98 lainnya direncanakan dibangun dekade mendatang.
Cina adalah
negara yang kini paling banyak membangun nuklir untuk memenuhi kebutuhan
listrik yang terus melesat seiring pertumbuhan ekonomi. Vietnam akan membuat
delapan reaktor. Malaysia berencana memiliki paling sedikit dua. Sementara,
pemerintah Indonesia berencana membangun empat reaktor nuklir pada tahun 2025.
Sulfikar
Amir, sosiolog Indonesia yang mengajar di Nanyang Technological University,
Singapura sangat konsen tentang isu ini. Belakangan dia bergelut dengan isu
nuklir dan mengkampanyekannya lewat akun Twitter: @sociotalker kepada lebih
dari 12 ribu followernya. Akhir 2012, dia meluncurkan “Nuklir Jawa“, sebuah
film dokumenter yang berisi kritik atas rencana Indonesia membangun reaktor di
Gunung Muria, Jawa Tengah.
“Sebenarnya
Indonesia adalah negara yang paling siap untuk mengembangkan nuklir di Asia
Tenggara” kata Sulfikar Amir (SA) kepada
Deutsche Welle (DW).
Berikut
wawancara DW dengan SA.
DW
Apa yang
membuat negara Asia kini berpaling ke nuklir?
SA
Kalau
melihat tren dunia, hingga 20 tahun setelah bencana Chernobyl, nuklir menjadi
tidak populer. Awal tahun 2000 muncul apa yang disebut nuclear renaissance atau
kebangkitan kembali nuklir. Ini wacana yang dikonstruksi industri nuklir
global.
Mereka memakai
dua alasan: pertama adalah perubahan iklim yang terjadi akibat penggunaan
energi fosil dan kedua adalah cenderung meningkat dan tidak stabilnya harga
minyak dunia.
Nah, nuklir
ditawarkan karena pertama tidak mengeluarkan efek rumah kaca (yang menyebabkan
perubahan iklim-red) dan kedua, secara ekonomi jangka panjang jauh lebih murah,
meski butuh dana investasi awal sangat besar.
Hitung-hitungan
ekonominya: untuk sebuah reaktor yang bisa berproduksi hingga 50 tahun harga
listrik yang dihasilkan 4 sen per kilowatt hour, sementara energi fosil hampir
dua kali lipat, apalagi energi terbarukan yang harganya bisa berkali lipat,
sangat mahal. Inilah yang menyebabkan nuclear renaissance menyebar ke Asia
termasuk Indonesia.
DW
Bagaimana
sejarah perkenalan Indonesia dengan nuklir?
SA
Sejarah
Indonesia dengan nuklir cukup tua. Indonesia membangun Lembaga Tenaga Atom
tahun 1958, yang kelak tahun 1964 menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN).
Era Soekarno, Kepala BATAN adalah jabatan penting setingkat menteri.
Ketika itu,
Soekarno sangat serius mengembangkan nuklir antara lain karena politik: dia
ingin mengembangkan bom atom untuk menakuti-nakuti Malaysia yang saat itu
sedang berkonfrontasi dengan Indonesia. Indonesia saat itu sempat meminta
bantuan ke Cina untuk membangun senjata nuklir. Tapi rencana itu gagal karena
tahun 65, Soekarno keburu digulingkan.
DW
Setelah itu
apa yang terjadi dengan program nuklir Indonesia?
SA
Pada era
Orde Baru, BATAN dikembangkan untuk tujuan damai penelitian. Kita punya 3
reaktor: di Bandung yang dibangun atas bantuan Amerika, di Yogya bantuan Rusia
dan di Serpong atas bantuan Jerman yang merupakan reaktor terbesar di Asia
Tenggara.
Meski desain
awalnya Jerman, tapi sebagian besar reaktor, kecuali bagian intinya, kini sudah
dimodifikasi oleh para ahli nuklir Indonesia.
DW
Apakah kita
memang butuh nuklir?
SA
Masalahnya
itu sudah diputuskan pemerintah. Tahun 2025 kita akan membangun empat reaktor
dengan kapasitas masing-masing seribu megawatt, yang jika dibandingkan dengan
total suplai listrik nasional 2025, maka kontribusinya hanya dua persen.
Itu sangat
kecil jika dibanding dengan resiko.
DW
Bisa Anda
jelaskan resiko itu?
SA
Para
teknokrat selama ini hanya menghitung aspek teknologi dan ekonomi. Tapi tidak
bicara resiko sosial. Karena mengoperasikan sebuah sistem yang canggih seperti
nuklir membutuhkan sistem kelembagaan yang kuat dan disiplin sangat tinggi.
Bahkan dalam
kasus tragedi Fukushima, Jepang, kesimpulan akhir menyebut tragedi itu terjadi
bukan karena bencana alam, tapi bencana akibat manusia, karena kalangan
industri nuklir tidak cukup mengantisipasi situasi darurat (seperti bencana
alam-red).
This post
was submitted by SP / IM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar