Kamis, 25 Juli 2013

Pemerintah Indonesia Akan Bangun 4 Reaktor Nuklir Tahun 2025

Demam nuklir saat ini tengah melanda Asia. Kawasan dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi dunia itu memilih membangun reaktor untuk kebutuhan energi. Indonesia juga semakin dekat dengan nuklir. Tapi apakah Indonesia siap dengan resiko nuklir?

Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menyebut, ada 41 reaktor yang sedang dibangun di Asia, 98 lainnya direncanakan dibangun dekade mendatang.

Cina adalah negara yang kini paling banyak membangun nuklir untuk memenuhi kebutuhan listrik yang terus melesat seiring pertumbuhan ekonomi. Vietnam akan membuat delapan reaktor. Malaysia berencana memiliki paling sedikit dua. Sementara, pemerintah Indonesia berencana membangun empat reaktor nuklir pada tahun 2025.


Sulfikar Amir, sosiolog Indonesia yang mengajar di Nanyang Technological University, Singapura sangat konsen tentang isu ini. Belakangan dia bergelut dengan isu nuklir dan mengkampanyekannya lewat akun Twitter: @sociotalker kepada lebih dari 12 ribu followernya. Akhir 2012, dia meluncurkan “Nuklir Jawa“, sebuah film dokumenter yang berisi kritik atas rencana Indonesia membangun reaktor di Gunung Muria, Jawa Tengah.

“Sebenarnya Indonesia adalah negara yang paling siap untuk mengembangkan nuklir di Asia Tenggara” kata Sulfikar Amir (SA)  kepada Deutsche Welle (DW).

Berikut wawancara DW dengan SA.

DW
Apa yang membuat negara Asia kini berpaling ke nuklir?

SA
Kalau melihat tren dunia, hingga 20 tahun setelah bencana Chernobyl, nuklir menjadi tidak populer. Awal tahun 2000 muncul apa yang disebut nuclear renaissance atau kebangkitan kembali nuklir. Ini wacana yang dikonstruksi industri nuklir global.

Mereka memakai dua alasan: pertama adalah perubahan iklim yang terjadi akibat penggunaan energi fosil dan kedua adalah cenderung meningkat dan tidak stabilnya harga minyak dunia.

Nah, nuklir ditawarkan karena pertama tidak mengeluarkan efek rumah kaca (yang menyebabkan perubahan iklim-red) dan kedua, secara ekonomi jangka panjang jauh lebih murah, meski butuh dana investasi awal sangat besar.

Hitung-hitungan ekonominya: untuk sebuah reaktor yang bisa berproduksi hingga 50 tahun harga listrik yang dihasilkan 4 sen per kilowatt hour, sementara energi fosil hampir dua kali lipat, apalagi energi terbarukan yang harganya bisa berkali lipat, sangat mahal. Inilah yang menyebabkan nuclear renaissance menyebar ke Asia termasuk Indonesia.

DW
Bagaimana sejarah perkenalan Indonesia dengan nuklir?

SA
Sejarah Indonesia dengan nuklir cukup tua. Indonesia membangun Lembaga Tenaga Atom tahun 1958, yang kelak tahun 1964 menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN). Era Soekarno, Kepala BATAN adalah jabatan penting setingkat menteri.

Ketika itu, Soekarno sangat serius mengembangkan nuklir antara lain karena politik: dia ingin mengembangkan bom atom untuk menakuti-nakuti Malaysia yang saat itu sedang berkonfrontasi dengan Indonesia. Indonesia saat itu sempat meminta bantuan ke Cina untuk membangun senjata nuklir. Tapi rencana itu gagal karena tahun 65, Soekarno keburu digulingkan.

DW
Setelah itu apa yang terjadi dengan program nuklir Indonesia?

SA
Pada era Orde Baru, BATAN dikembangkan untuk tujuan damai penelitian. Kita punya 3 reaktor: di Bandung yang dibangun atas bantuan Amerika, di Yogya bantuan Rusia dan di Serpong atas bantuan Jerman yang merupakan reaktor terbesar di Asia Tenggara.

Meski desain awalnya Jerman, tapi sebagian besar reaktor, kecuali bagian intinya, kini sudah dimodifikasi oleh para ahli nuklir Indonesia.

DW
Apakah kita memang butuh nuklir?

SA
Masalahnya itu sudah diputuskan pemerintah. Tahun 2025 kita akan membangun empat reaktor dengan kapasitas masing-masing seribu megawatt, yang jika dibandingkan dengan total suplai listrik nasional 2025, maka kontribusinya hanya dua persen.

Itu sangat kecil jika dibanding dengan resiko.

DW
Bisa Anda jelaskan resiko itu?

SA
Para teknokrat selama ini hanya menghitung aspek teknologi dan ekonomi. Tapi tidak bicara resiko sosial. Karena mengoperasikan sebuah sistem yang canggih seperti nuklir membutuhkan sistem kelembagaan yang kuat dan disiplin sangat tinggi.

Bahkan dalam kasus tragedi Fukushima, Jepang, kesimpulan akhir menyebut tragedi itu terjadi bukan karena bencana alam, tapi bencana akibat manusia, karena kalangan industri nuklir tidak cukup mengantisipasi situasi darurat (seperti bencana alam-red).


This post was submitted by SP / IM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar